OPINI-kupas.news
Sudirman
Minyak goreng yang saat ini langka, semestinya menjadi bahan introspeksi bahwa ternyata kita selama ini sudah terlanjur butuh dengan minyak goreng. Buktinya begitu minyak goreng ini langka, ibu-ibu menjadi ribut dan resah baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Bahkan, ketika ada info ada warung atau supermarket yang jual stok minyak, mereka langsung menyerbu dan rela antri berjam-jam walaupun harganya kini melangit.
Padahal, sebelum ada minyak goreng dari sawit, dulu masyarakat kita banyak yang membuat minyak goreng dari kelapa tua. Saya masih ingat, nenek dan ibu saya dulu, selalu membuat minyak ini dari kelapa, hasil minyaknya jernih dan sisa santan yang sudah dimasak tersebut wangi dan enak dimakan. Sisa santan masak ini yang mengental, yang wangi dan enak ini, di Komering namanya “Sambotik”.
Kini, pemerintah OKU Timur melalui dinas pendidikan dan kebudayaan dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan di beberapa sekolah mengenalkan kembali bagaimana bahan dan cara membuat minyak goreng dari kelapa. Program ini tentunya membuka mata dan pikiran kita, bahwa ternyata banyak jalan menuju Roma. Minyak goreng langka ini bisa kita sikapi dengan cara alamiah, lebih sehat, dan terjangkau. Minyak kelapa lah solusinya.
Selain minyak goreng kelapa, masakan alami lebih banyak lagi diperoleh dari ikan pepes, ikan bakar, rendang, pindang, dan sejenisnya. Memang, dengan menggoreng, masakan lebih cepat masaknya, namun bagi sebagian orang, gorengan agak dikurangi karena mengandung kolesterol dan penyakit lainnya. Oleh karena itu, pada prinsipnya segala apa yang terjadi pada hidup dan kehidupan ini, termasuk kejadian langkanya minyak goreng kelapa sawit pasti mengandung hikmah yang tersembunyi. Tugas kita adalah mengidentifikasi hikmah yang tersembunyi tersebut agar kita senantiasa bersyukur dalam kondisi apapun dan bagaimanapun.